Langsung ke konten utama

Hope

Lunch time. Salah satu waktu yang kutunggu di hari kerja untuk menghilang sejenak dari ruangan penuh orang dengan layar dihadapannya. Menjauh sejenak dari segala pekerjaan yang ada, mengistirahatkan pikiran dan mental yang kurang stabil akhir-akhir ini. Duduk di atas sofa yang cukup tersembunyi di pojok café dengan pemandangan yang cukup tenang. 

 

Banyak hal yang mulai kupertanyakan. Semakin pudar masa depan yang sudah kubuat sedemikian rupa. Semakin sulit mengendalikan hal yang sudah direncanakan sebelumnya. Banyak hal yang tidak terduga terjadi, error kecil yang terkadang, cukup mengganggu. Namun apa daya, yang dapat kulakukan hanyalah berpura-pura, seolah seluruhnya masih dalam kendali, seolah seluruhnya terjadi sesuai dengan rencana yang telah dibuat.

 

Bertambah umur setiap detiknya membuat semakin banyak cabang dalam pikiranku yang harus selalu kupertahankan agar tidak menjadi benalu dalam hidup. Bertahan dengan menjaga diri dan pikiran sembari menghadapi kehidupan, yang dapat kusimpulkan, cukup melelahkan. Menanamkan ide dalam pikiran bahwa seluruhnya akan baik-baik saja. Menjalani rutinitas hari sambil bertanya, akankah seluruh hal ini berakhir?

 

Melangkah perlahan di atas jalan penuh simpang dengan tujuan yang berbeda, jalan dengan cahaya seadanya, jalan yang dipenuhi dengan dinginnya udara malam. Bertemu dengan beberapa orang di setiap simpang jalan yang kulalui, berjalan bersama untuk beberapa saat walau akhirnya berpisah di ujung persimpangan lain. Perlahan-lahan ‘beberapa’ menjadi tiga, dua dan satu. Berharap dalam hati satu orang ini akan menempuh jalan yang sama hingga ujung jalan yang ada. Berharap untuk tidak kembali berjalan sendiri.

 

Mencoba untuk percaya akan harapan yang ada, walau Aku tahu, harapan dapat menjadi kekecewaan. Mempertimbangkan risiko yang ada, meneguhkan hati untuk memutuskan, perlukah kuletakkan seluruh kepercayaanku dalam harapan. Namun yang Aku tahu, harapan ini membuat jalan yang kulalui terasa lebih ringan, ketakutan perlahan-lahan mulai memudar, udara tidak lagi dingin seperti sebelumnya. 

 

Mulai menyusun rencana yang baru, dengan beberapa alternatif tentunya, dengan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi, sendiri ataupun tidak, untuk setidaknya dalam waktu setahun ke depan. Berusaha untuk memperkecil celah yang mungkin dapat muncul dari rencana yang kubuat. Rencana sederhana yang kuharap tidak akan merugikan orang lain, yang dapat dimengerti dan diterima oleh orang lain. Rencana dengan jalan keluar dari kemungkinan buruk yang dapat terjadi.

 

“With hope and a plan, everything should be fine”



Komentar

  1. Aku si tim percaya harapan, tapi tetep aja selalu overthinking😩

    BalasHapus
  2. While we may encounter challenges and setbacks along the way, we shd have faith that the things will unfold according to God’s plan and our best efforts. For sure.

    BalasHapus
  3. kayak gelisah, geli basah 🙂

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fake

Aku kembali, setelah lebih dari setahun aku tidak menulis. Duduk dengan pakaian yang cukup rapi, yang telah Aku prediksi sebelumnya, akan menjadi pakaian sehari-hariku dalam beberapa tahun ke depan. Deringan telefon dan hembusan angin AC telah menjadi makanan telingaku untuk beberapa bulan terakhir.    Aku, telah menjadi seseorang yang sedikit berbeda dari sebelumnya. Pikiran-pikiran yang muncul dan hal-hal yang dihadapi pun berbeda. Aku tetaplah aku, seseorang yang selalu menyimpan segala sesuatu di dalam pikiran. Aku telah masuk ke sebuah lingkungan yang baru, disertai dengan orang-orang yang baru pula. Mulai mengetahui kehidupan yang sebenarnya. Aku mulai menelaah kebiasaan orang-orang yang baru, yang ada di sekitarku. Ada beberapa yang benar-benar sesuai dengan prinsip hidupku, ada pula yang tidak. Aku tidak membenci atau menyalahkan mereka, dan tidak pernah terlintas dalam pikiranku untuk menuntut mereka menjadi seseorang yang Aku inginkan.    Aku, telah terpecah menjadi beberapa

Aku dan Mereka

Hujan. Aku sangat menyukai hujan, tetapi Aku tidak menyukai saat setelah hujan. Aku tidak ingin hujan berhenti. Aku ingin ia tetap ada, menemaniku dengan suaranya yang merdu. Terkadang, hujan berkata padaku. Ia ingin selalu ada, menemaniku di saat Aku merasa sepi. Tetapi ia tidak bisa selalu ada karena ia terkadang memiliki kesibukan di tempat lain.    Aku di sini. Duduk menikmati dinginnya  latte  favoritku, dengan diiringi suara derasnya hujan dan orang yang berbincang. Memandangi rintikan air yang jatuh dari kejauhan dan pohon-pohon yang riang bermandikan hujan. Alunan musik pop yang sangat mendukungku untuk menuliskan ide yang ada di kepalaku.    Kemarin, terjadi suatu perkelahian di depan tempatku tinggal. Untuk sesaat, Aku berpikir banyak sekali jenis manusia di dunia ini. Mengapa bisa terdapat orang yang terpicu emosinya untuk hal yang sangat kecil, bahkan semut pun tidak akan marah untuk hal seperti itu. Aku takut, bingung dan marah di saat itu. Aku terdiam sejenak, memandangi

Adil

Adil. Bahagia. Mereka. Tenang. Bersyukur. Beberapa kata yang sering muncul dalam pikiranku akhir-akhir ini. Terlalu sibuk dengan hal yang sudah menjadi kewajibanku sebagai seorang pekerja hingga tak lagi memiliki waktu untuk memikirkan kehidupan. Mencoba untuk terlihat baik-baik saja, walau pikiran ini sudah tak lagi mampu menampung. Mungkin ada beberapa orang yang sadar akan hal itu, tetapi Aku tetap mencoba untuk terlihat baik-baik saja.   Apakah kehidupan ini adil? Ada beberapa temanku yang berkata kehidupan ini adil, ada yang berkata tidak, ada pula yang tidak pernah berpikir akan hal ini, dengan segala cerita dibalik itu semua. Hampir mereka semua, termasuk Aku (di masa lalu), menilai keadilan hidup ini dengan membandingkan kehidupan yang dilukis orang lain. Dengan teman dekat, keluarga, tetangga, rekan kerja, penemu mobil listrik, bahkan burung-burung tanpa dosa yang terbang bebas di langit sore hari.    Keadilan bagimu dan bagiku adalah hal yang tidak dapat dibandingkan, bahkan