Skip to main content

Friends

Kembali. Menulis di salah satu restoran yang berjarak kurang lebih dua jam dari Ibu Kota Jakarta. Menghampiri kedamaian alunan instrumental klasik dan gemercik air yang menenangkan. Udara malam yang semakin sejuk diiringi kodok yang berdengkang membuat suasana hati menjadi lebih tenang. Kembali menulis, bukan karena suatu kewajiban, namun kondisi hati dan pikiran yang mendukung untuk membagikan suatu ide yang mungkin dapat berdampak bagi orang-orang sekitar.

 

Terhanyut dalam lembaran salah satu masterpiece penulis terkemuka, Dale Carnegie, dengan judul "How to Win Friends and Influence People" yang sudah cukup banyak dikenal orang. Awalnya terlintas dalam pikiran ketika salah satu teman baik memberikanku buku ini, apakah Aku benar-benar butuh untuk membaca buku ini. Menurutku, sebagai orang dengan introvert personality, Aku merasa tidak perlu lagi untuk memenangkan teman-temanku saat ini. Tidak juga pernah terlintas untuk memengaruhi orang lain dengan kehidupanku yang cukup rumit. 

 

Walaupun Aku baru saja membaca beberapa halaman dari total kurang lebih 275 halaman, banyak hal menarik yang sudah kudapatkan. Dapat kukatakan bahwa buku ini menjelaskan sudut pandang penulis mengenai bagaimana cara berperilaku dan memperlakukan orang lain. Hal ini didasarkan pada cerita kehidupannya di akhir abad ke-19. Aku di sini bukan untuk membahas buku itu, yang tentu dapat kalian gali lebih dalam ketika membacanya, namun Aku ingin membahas lebih dalam mengenai "teman".

 

Definisi teman bagiku adalah orang yang setidaknya sudah bertemu tatap muka denganku beberapa kali. Mereka juga sudah terlibat dalam pembicaraan mengenai kehidupanku dan mereka. Orang yang memiliki kepedulian yang sama, seperti Aku peduli dengan mereka. Dalam kata lain, orang yang sudah bertemu beberapa kali denganku namun tidak mengetahui kehidupanku yang sebenarnya, belum dapat kusebut sebagai teman. Tentu saja, definisi ini dapat berbeda dengan definisi teman bagimu.

 

Bukan bagaimana cara mempertahankannya, namun hal yang sulit dilakukan adalah untuk menemukan seseorang yang dapat disebut dengan "teman". Seseorang yang dapat terhubung dengan kita dalam berbagai hal, bisa berhubungan dengan hobi, novel, musik ataupun cara pikir mengenai kehidupan. Seseorang yang tidak mengharapkan keuntungan apapun, benar-benar tulus dalam menjalin sebuah pertemanan. 

 

Ada yang berpendapat bahwa teman bukanlah seseorang yang harus dicari, biarkan semesta yang mempertemukan. Banyak yang dengan tidak sengaja bertemu seseorang yang akhirnya berteman selama belasan hingga puluhan tahun. Ada juga yang dengan sengaja mencari "teman" dan mampu mempertahankan hubungan itu hingga puluhan tahun pula. Namun masih terasa sebagai misteri, setidaknya bagiku, bagaimana segalanya dapat terjalin begitu saja.

 

Melalui berliku-liku perjalanan kehidupan, Aku menemukan keindahan dalam simpul-simpul pertemanan yang terjalin. Seperti pencerminan cahaya di permukaan air yang tenang, teman-teman menghadirkan warna-warni kehidupan, memantulkan cerminan jiwa kita dengan setia. Mereka adalah pilar ketika langit gelap menghimpit, dan pelipur lara saat hati teriris.

 

Dalam setiap tatap dan senyuman, tersembunyi rahasia kebersamaan yang mengikat jiwa. Dari serpihan cerita yang tersimpan dalam setiap kalimat, hingga irama langkah yang seirama dalam perjalanan, teman-teman mengukir jejak yang abadi di relung hati. Mereka adalah sajak-sajak yang terpahat indah dalam dinding kenangan, mengalir seperti sungai menuju lautan kasih yang tak berbatas.

 

Namun, di balik kemegahan, terdapat proses yang mengukir diri menjadi sosok yang layak dihormati. Proses merajut benang persahabatan memerlukan kejujuran tanpa cela, ketulusan tanpa pamrih, dan kesabaran yang memancar dari kebijaksanaan batin. Dalam lautan pertemanan yang luas, Aku berlayar dengan hati terbuka, berharap menemukan pulau yang damai di tengah gemuruh ombak kehidupan.

 

Dalam langkah demi langkah, Aku menelusuri jalan yang berliku, mengharapkan cahaya yang menyinari setiap tikungan. Dengan tangan terbuka dan hati yang lapang, Aku mempersembahkan diri sebagai teman sejati, siap menyambut dan menemani dalam setiap detik perjalanan. Dengan kebahagiaan yang bersemi di pelukan kebersamaan, Aku bersyukur telah diberi anugerah berupa teman-teman yang menghiasi lukisan hidupku dengan warna-warni keindahan.

 

“In friendship’s embrace, we find life’s true grace.”

Comments

  1. Kalo kita anggap dia temen, tapi dia ga anggap kita temen gimana tuuu😌

    ReplyDelete
  2. Teman terkadang terasa bagai keluarga, dan tidak sungkan untuk datang membantu tanpa bertanya, ( jika teman ny gak salah pilih 🤭 )
    Jadi teman itu butuh lah , mau siapapun statusnya, tetap bisa menjadi teman yang baik jika memilih orang yang tepat

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Crossroads

Life is full of moments where choices aren’t just decisions, they’re turning points. And right now, I’m standing at one of those moments, looking at two roads stretched out in front of me. One path feels safe, familiar, wrapped in the warmth of everything I know. The other feels uncertain, a little unknown, but it hums with the quiet promise of something new and exciting.    There’s a part of me—a loud, restless part—that long for change. It’s a craving I can’t ignore anymore, a need to step into a new rhythm, to explore a life where every step feels like growth. I imagine what it might be like to wake up in a place that challenges me, pushes me, forces me to adapt. A place where even the seasons change, reminding me that nothing in life is meant to stay the same.    But chasing that feeling means leaving so much behind. It means walking away from the people who’ve been my anchor—my mom, my sisters, my close friends. The ones who know me better than anyone, who’ve se...

Life - 2

“ Live your life ”. Someone once said this when I voiced my frustrations. Simple words, yet with a depth I hadn’t grasped at first. I thought I was living in my life, but deep down, I wanted to scream, to shout it out because what you see isn’t what I feel. On the surface, it all seems fine, but beneath, the waves are churning. Pretending is easier than exposing the raw truth, isn’t it? Maybe it’s a lie to others, but it’s my way to cope.   As Adele writes in “ To Be Loved ”, one of my favorite songs of hers, “ Let it be known that I tried ”. And I tried, I have. I’ve tried countless times to live this life on different terms. Every morning when my eyes open, my mind races: “ What will I do with this day, with this life? ”. It’s not about comparison, not a measure against someone else’s existence. It’s about me, my life, and what it means. It’s not just about love, work, or family. It’s bigger, broader–something that stretches into every part of my being.   Someone else said, ...

Adulthood

Just got back from my hometown after a Chinese New Year trip. And if there’s one thing I keep thinking about since then, it’s this— so this is what being an adult feels like.   The weight of responsibility sits heavier each year. Being the only son means taking care of my mom, making sure she’s okay, making sure I’m okay. My back aches at least once a week, a little reminder that my body isn’t as resilient as it used to be. My eyesight is getting worse, even though I’ve tried to cut down my screen time. I’ve been trying to eat cleaner—less carbs, less sugar, more water, and workouts six days a week. ( Tried , at least. The last time I jumped rope, I somehow hurt my back. No idea how that happened, but it did.)   And then, there’s time. It moves differently these days. Slipping through my fingers faster than I can hold onto it. One moment, I was in Japan celebrating New Year, and now? It’s already February.  How?   Spending time in my hometown felt like a break from r...