Langsung ke konten utama

Ini Aku

Aku. Ya, Ini Aku. Yang akan kalian baca. Tentang hidupku. Hidupku mungkin tidak akan berdampak bagi siapapun. Mungkin juga berdampak. Kemungkinan nya tidak dapat ku hitung. Banyak yang ingin ku ceritakan tentang Aku. Jariku mampu untuk mengetik semuanya, tapi tidak dalam satu waktu. 

 

Aku adalah Chan. Tahun ini aku akan berumur 20 tahun di Agustus nanti. Aku tinggal di Jakarta, jauh dari kampung halaman tempat Mama ku tinggal, Jambi. Sendiri menjalani kehidupan keras di Jakarta. Tidak, itu hanya kata-kata yang sering diucapkan orang. Aku tidak merasakan menjalani kehidupan yang keras di Jakarta. Selalu cukup, karena Mama yang selalu memenuhinya. Aku beruntung karena memiliki seseorang seperti Mama, berusaha selalu memenuhi apa yang Aku butuhkan, bukan karena Mama kaya seperti Harry Potter, yang sudah memiliki satu ruangan penuh emas sejak kecil, tetapi karena Mama pekerja keras. Mama sudah menjadi seorang orang tua tunggal sejak Aku masih duduk di kelas 3 sekolah dasar, karena Papa pulang ke Sorga. Papa, seseorang yang selalu membuat anaknya tertawa, walau sedang dimarahi Mama. Aku masih mengingat wajah Papa dengan ekspresi apapun, dari serius, tertawa, hingga menangis. Aku hanya pernah mencium Papa sekali, ketika Aku ditantang oleh kakakku untuk mencium Papa, ketika Papa masih duduk di kursi roda. 

Aku, terkadang berpikir, kenapa harus Aku yang merasakan ini. Tumbuh sebagai laki-laki satu-satunya di keluarga kecil ku. Aku, yang sejak kecil, selalu diberitahu oleh orang-orang sekitar, pada saat itu, harus menjadi pelindung keluarga ku dan pengganti Papa. Pasti, tak perlu Aku diberitahu untuk menjadi pelindung, karena siapapun pasti akan melindungi keluarganya. Sebagai pengganti Papa, ini yang selalu Aku pikirkan. Bukan karena umur yang masih terlalu kecil, tetapi bagaimana Aku bisa menjadi pengganti jika Aku tidak merasakan bagaimana tumbuh dengan seorang Papa. Aku tidak tahu apa yang harus dilakukan. Beberapa minggu setelah Papa pergi, Aku masih meletakkan bantal dan guling yang biasa Ia gunakan, di sebelah ku, dan Aku, percaya atau tidak, menangis. Mungkin orang hanya berpikir bahwa Aku hanyalah seorang anak kecil yang tidak mengerti akan kematian, tidak merasakan kehilangan, tetapi pada saat itu, Aku mengerti. Aku hanya bisa menangis, tanpa diketahui oleh Mama, karena Ia pasti akan menangis juga jika mendengar alasan ku menangis. 

Bersambung, karena Aku terbawa suasana pada saat ini, sedih.

 

Komentar

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. nice story Chand. I would like to wait your next story ya~

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thanks Ce :) Don't forget to subscribe ya, so you will get the notifications when I post :)

      Hapus
  3. Lucky Club Casino Site – Betway - live betting results
    › casino › casino Welcome to Lucky Club Casino. Here you will find all of luckyclub your favourite games. We are one of the largest casinos in the world, operating at over 10

    BalasHapus
  4. 🥺🥺🥺

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fake

Aku kembali, setelah lebih dari setahun aku tidak menulis. Duduk dengan pakaian yang cukup rapi, yang telah Aku prediksi sebelumnya, akan menjadi pakaian sehari-hariku dalam beberapa tahun ke depan. Deringan telefon dan hembusan angin AC telah menjadi makanan telingaku untuk beberapa bulan terakhir.    Aku, telah menjadi seseorang yang sedikit berbeda dari sebelumnya. Pikiran-pikiran yang muncul dan hal-hal yang dihadapi pun berbeda. Aku tetaplah aku, seseorang yang selalu menyimpan segala sesuatu di dalam pikiran. Aku telah masuk ke sebuah lingkungan yang baru, disertai dengan orang-orang yang baru pula. Mulai mengetahui kehidupan yang sebenarnya. Aku mulai menelaah kebiasaan orang-orang yang baru, yang ada di sekitarku. Ada beberapa yang benar-benar sesuai dengan prinsip hidupku, ada pula yang tidak. Aku tidak membenci atau menyalahkan mereka, dan tidak pernah terlintas dalam pikiranku untuk menuntut mereka menjadi seseorang yang Aku inginkan.    Aku, telah terpecah menjadi beberapa

Aku dan Mereka

Hujan. Aku sangat menyukai hujan, tetapi Aku tidak menyukai saat setelah hujan. Aku tidak ingin hujan berhenti. Aku ingin ia tetap ada, menemaniku dengan suaranya yang merdu. Terkadang, hujan berkata padaku. Ia ingin selalu ada, menemaniku di saat Aku merasa sepi. Tetapi ia tidak bisa selalu ada karena ia terkadang memiliki kesibukan di tempat lain.    Aku di sini. Duduk menikmati dinginnya  latte  favoritku, dengan diiringi suara derasnya hujan dan orang yang berbincang. Memandangi rintikan air yang jatuh dari kejauhan dan pohon-pohon yang riang bermandikan hujan. Alunan musik pop yang sangat mendukungku untuk menuliskan ide yang ada di kepalaku.    Kemarin, terjadi suatu perkelahian di depan tempatku tinggal. Untuk sesaat, Aku berpikir banyak sekali jenis manusia di dunia ini. Mengapa bisa terdapat orang yang terpicu emosinya untuk hal yang sangat kecil, bahkan semut pun tidak akan marah untuk hal seperti itu. Aku takut, bingung dan marah di saat itu. Aku terdiam sejenak, memandangi

Adil

Adil. Bahagia. Mereka. Tenang. Bersyukur. Beberapa kata yang sering muncul dalam pikiranku akhir-akhir ini. Terlalu sibuk dengan hal yang sudah menjadi kewajibanku sebagai seorang pekerja hingga tak lagi memiliki waktu untuk memikirkan kehidupan. Mencoba untuk terlihat baik-baik saja, walau pikiran ini sudah tak lagi mampu menampung. Mungkin ada beberapa orang yang sadar akan hal itu, tetapi Aku tetap mencoba untuk terlihat baik-baik saja.   Apakah kehidupan ini adil? Ada beberapa temanku yang berkata kehidupan ini adil, ada yang berkata tidak, ada pula yang tidak pernah berpikir akan hal ini, dengan segala cerita dibalik itu semua. Hampir mereka semua, termasuk Aku (di masa lalu), menilai keadilan hidup ini dengan membandingkan kehidupan yang dilukis orang lain. Dengan teman dekat, keluarga, tetangga, rekan kerja, penemu mobil listrik, bahkan burung-burung tanpa dosa yang terbang bebas di langit sore hari.    Keadilan bagimu dan bagiku adalah hal yang tidak dapat dibandingkan, bahkan